Setelah
virus itu menyebar dan menghantui dunia, perusahaan-perusaha an dari
negara maju memproduksi vaksin lalu dijual ke pasaran dengan harga
mahal di negara berkembang, termasuk Indonesia. Fadilah menuangkannya
dalam bukunya berjudul Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik
Virus Flu Burung. Selain dalam edisi Bahasa Indonesia, Siti juga
meluncurkan buku yang sama dalam versi Bahasa Inggris dengan judul It’s
Time for the World to Change.
Konspirasi
tersebut, kata Fadilah, dilakukan negara adikuasa dengan cara mencari
kesempatan dalam kesempitan pada penyebaran virus flu burung. “Saya
mengira mereka mencari keuntungan dari penyebaran flu burung dengan
menjual vaksin ke negara kita,” ujar Fadilah kepada Persda Network di
Jakarta, Kamis (21/2).
Situs
berita Australia, The Age, mengutip buku Fadilah dengan mengatakan,
Pemerintah AS dan WHO berkonpirasi mengembangkan senjata biologi dari
penyebaran virus avian H5N1 atau flu burung dengan memproduksi senjata
biologi. Karena itu pula, bukunya dalam versi bahasa Inggris menuai
protes dari petinggi WHO.
“Kegerahan
itu saya tidak tanggapi. Kalau mereka gerah, monggo mawon (silahkan
saja). Betul apa nggak, mari kita buktikan. Kita bukan saja dibikin
gerah, tetapi juga kelaparan dan kemiskinan. Negara-negara maju
menindas kita, lewat WTO, lewat Freeport, dan lain-lain. Coba kalau
tidak ada kita sudah kaya” ujarnya.
Fadilah
mengatakan, edisi perdana bukunya dicetak masing-masing 1.000 eksemplar
untuk cetakan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Total sebanyak
2.000 buku. “Saat ini banyak yang meminta jadi dalam waktu dekat saya
akan mencetak cetakan kedua dalam jumlah besar. Kalau cetakan pertama
dicetak penerbitan kecil, tapi untuk rencana ini, saya sedang mencari
bicarakan dengan penerbitan besar,” katanya.
Selain
mencetak ulang bukunya, perempuan kelahiran Solo, 6 November 1950,
mengatakan telah menyiapkan buku jilid kedua. “Saya sedang menulis
jilid kedua. Di dalam buku itu akan saya beberkan semua bagaimana
pengalaman saya. Bagaimana saya mengirimkan 58 virus, tetapi saya
dikirimkan virus yang sudah berubah dalam bentuk kelontongan. Virus
yang saya kirimkan dari Indonesia diubah-ubah Pemerintahan George
Bush,” ujar menteri kesehatan pertama Indonesia dari kalangan perempuan
ini.
Siti enggan
berkomentar tentang permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang
memintanya menarik buku dari peredaran. “Bukunya sudah habis. Yang
versi bahasa Indonesia, sebagian, sekitar 500 buku saya bagi-bagikan
gratis, sebagian lagi dijual ditoko buku. Yang bahasa Inggris dijual,”
katanya sembari mengatakan, tidak mungkin lagi menarik buku dari
peredaran.
Pemerintah
AS dikabarkan menjanjikan imbalan peralatan militer berupa senjata
berat atau tank jika Pemerintah RI bersedia menarik buku setebal 182
halaman itu.
= Mengubah Kebijakan =
Apapun
komentar pemerintah AS dan WHO, Fadilah sudah membikin sejarah dunia.
Gara-gara protesnya terhadap perlakuan diskriminatif soal flu burung,
AS dan WHO sampai-sampai mengubah kebijakan fundamentalnya yang sudah
dipakai selama 50 tahun.
Perlawanan
Fadilah dimulai sejak korban tewas flu burung mulai terjadi di
Indonesia pada 2005. Majalah The Economist London menempatkan Fadilah
sebagai tokoh pendobrak yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia
dari dampak flu burung.
“Menteri
Kesehatan Indonesia itu telah memilih senjata yang terbukti lebih
berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini dalam menanggulangi
ancaman virus flu burung, yaitu transparansi” tulis The Economist. The
Economist, seperti ditulis Asro Kamal Rokan di Republika, edisi pekan
lalu, mengurai, Fadilah mulai curiga saat Indonesia juga terkena
endemik flu burung 2005 silam. Ia kelabakan. Obat tamiflu harus ada.
Namun aneh, obat tersebut justru diborong negara-negara kaya yang tak
terkena kasus flu burung.
Di tengah
upayanya mencari obat flu burung, dengan alasan penentuan diagnosis,
WHO melalui WHO Collaborating Center (WHO CC) di Hongkong
memerintahkannya untuk menyerahkan sampel spesimen. Mulanya, perintah
itu diikuti Fadilah. Namun, ia juga meminta laboratorium litbangkes
melakukan penelitian. Hasilnya ternyata sama. Tapi, mengapa WHO CC
meminta sampel dikirim ke Hongkong?
Fadilah
merasa ada suatu yang aneh. Ia terbayang korban flu burung di Vietnam.
Sampel virus orang Vietnam yang telah meninggal itu diambil dan dikirim
ke WHO CC untuk dilakukan risk assessment, diagnosis, dan kemudian
dibuat bibit virus. Dari bibit virus inilah dibuat vaksin. Dari sinilah,
ia menemukan fakta, pembuat vaksin itu adalah perusahaan-perusaha an
besar dari negara maju, negara kaya, yang tak terkena flu burung. Mereka
mengambilnya dari Vietnam, negara korban, kemudian menjualnya ke
seluruh dunia tanpa izin. Tanpa kompensasi.
Fadilah
marah. Ia merasa kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat
negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas dalih Global Influenza
Surveilance Network (GISN) WHO. Badan ini sangat berkuasa dan telah
menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari
110 negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa
menolak. Virus itu menjadi milik mereka, dan mereka berhak memprosesnya
menjadi vaksin.
Di saat
keraguan atas WHO, Fadilah kembali menemukan fakta bahwa para ilmuwan
tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO CC.
Data itu, uniknya, disimpan di Los Alamos National Laboratory di New
Mexico, AS.
Di sini,
dari 15 grup peneliti hanya ada empat orang dari WHO, selebihnya tak
diketahui. Los Alamos ternyata berada di bawah Kementerian Energi AS.
Di lab inilah duhulu dirancang bom atom Hiroshima. Lalu untuk apa data
itu, untuk vaksin atau senjata kimia?
Fadilah tak
membiarkan situasi ini. Ia minta WHO membuka data itu. Data DNA virus
H5N1 harus dibuka, tidak boleh hanya dikuasai kelompok tertentu. Ia
berusaha keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim data
itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan Los
Alamos, memujinya.
Majalah The
Economist menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi transparansi.
Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO CC agar
mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah ditempatkan di
Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi Pentagon. Ini
jelas tak mudah. Tapi, ia terus berjuang hingga tercipta pertukaran
virus yang adil, transparan, dan setara.
Ia juga
terus melawan dengan cara tidak lagi mau mengirim spesimen virus yang
diminta WHO, selama mekanisme itu mengikuti GISN, yang imperialistik
dan membahayakan dunia. Dan, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski
Fadilah dikecam WHO dan dianggap menghambat penelitian, namun pada
akhirnya dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007,
International Government Meeting (IGM) WHO di akhirnya menyetujui
segala tuntutan Fadilah, yaitu sharing virus disetujui dan GISN
dihapuskan.
Source: Jendela Indonesia