Mafia Berkeley Pemegang Manipulasi Ekonomi Indonesia

Dalam buku yang ditulis John Pilger dan yang
juga ada film dokumenternya, dengan judul
The New Rulers of the World, antara lain,
dikatakan: “Dalam dunia ini, yang tidak dilihat
oleh bagian terbesar dari kami yang hidup di
belahan utara dunia, cara perampokan yang
canggih telah memaksa lebih dari sembilan
puluh negara masuk ke dalam program
penyesuaian struktural sejak tahun delapan
puluhan, yang membuat kesenjangan antara
kaya dan miskin semakin menjadi lebar”.
Ini terkenal dengan istilah nation building dan
good governance oleh “empat serangkai” yang
mendominasi World Trade Organisation
(Amerika Serikat, Eropa, Canada, dan Jepang),
dan triumvirat Washington (Bank Dunia, IMF,
dan Departemen Keuangan AS). Mereka
mengendalikan setiap aspek detail dari
kebijakan pemerintah di negara-negara
berkembang. Kekuasaan mereka diperoleh dari
utang yang belum terbayar, yang memaksa
negara-negara termiskin membayar USD 100
juta per hari kepada para kreditor Barat.
Akibatnya adalah sebuah dunia yang elitenya -
dengan jumlah lebih sedikit dari satu miliar
orang- menguasai 80 persen kekayaan seluruh
umat manusia.”
Itu ditulis oleh John Pilger, seorang wartawan
Australia yang bermukim di London, yang tidak
saya kenal. Antara John Pilger dan saya, tidak
pernah ada komunikasi. Namun, ada beberapa
kata yang saya rasakan berlaku untuk bangsa
Indonesia dan yang relevan dengan yang baru
saya kemukakan. Kalimat John Pilger itu
begini: “Their power derives largely from an
unrepayable debt that forces the poorest
countres…” dan seterusnya. Dalam hal
Indonesia, keuangan negara sudah bangkrut
pada 1967. Paling tidak, demikianlah yang
digambarkan oleh para teknokrat ekonom
Orde Baru yang dipercaya oleh Presiden
Soeharto untuk memegang tampuk pimpinan
dalam bidang perekonomian. Maka, dalam
buku John Pilger tersebut, antara lain, juga
dikemukakan sebagai berikut:
(Saya kutip halaman 37) “Dalam bulan
November 1967, menyusul tertangkapnya
’hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi.
The Time-Life Corporation mensponsori
konferensi istimewa di Jenewa yang dalam
waktu tiga hari merancang pengambilalihan
Indonesia. Para pesertanya meliputi para
kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-
orang seperti David Rockefeller. Semua
raksasa korporasi Barat diwakili: perusahaan-
perusahaan minyak dan bank, General Motors,
Imperial Chemical Industries, British Leyland,
British American Tobacco, American Express,
Siemens, Goodyear, The International Paper
Corporation, US Steel. Di seberang meja
adalah orang-orangnya Soeharto yang oleh
Rockefeller disebut “ekonoom-ekonoom
Indonesia yang top”.
“Di Jenewa, Tim Indonesia terkenal dengan
sebutan ’the Berkeley Mafia’, karena beberapa
di antaranya pernah menikmati beasiswa dari
pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di
Universitas California di Berkeley. Mereka
datang sebagai peminta-minta yang
menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh
para majikan yang hadir. Menyodorkan butir-
butir yang dijual dari negara dan bangsanya,
mereka menawarkan : … buruh murah yang
melimpah… cadangan besar dari sumber daya
alam … pasar yang besar.” Di halaman 39
ditulis: “Pada hari kedua, ekonomi Indonesia
telah dibagi, sektor demi sektor. ’Ini dilakukan
dengan cara yang spektakuler’ kata Jeffry
Winters, guru besar pada Northwestern
University, Chicago, yang dengan
mahasiwanya yang sedang bekerja untuk gelar
doktornya, Brad Sampson, telah mempelajari
dokumen-dokumen konferensi. ’Mereka
membaginya ke dalam lima seksi:
pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di
kamar lain, industri ringan di kamar lain,
perbankan dan keuangan di kamar lain lagi;
yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk
dengan sebuah delegasi yang mendiktekan
kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh
mereka dan para investor lainnya. Kita
saksikan para pemimpin korporasi besar ini
berkeliling dari satu meja ke meja yang lain,
mengatakan: ini yang kami inginkan: ini, ini,
dan ini, dan mereka pada dasarnya merancang
infrastruktur hukum untuk berinvestasi di
Indonesia.
Saya tidak pernah mendengar situasi seperti
itu sebelumnya, di mana modal global duduk
dengan para wakil dari negara yang
diasumsikan sebagai negara berdaulat dan
merancang persyaratan buat masuknya
investasi mereka ke dalam negaranya sendiri.
Freeport mendapatkan bukit (mountain)
dengan tembaga di Papua Barat (Henry
Kissinger duduk dalam board). Sebuah
konsorsium Eropa mendapat nikel Papua
Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian
terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok
perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang, dan
Prancis mendapat hutan-hutan tropis di
Sumatera, Papua Barat, dan Kalimantan.
Sebuah undang-undang tentang penanaman
modal asing yang dengan buru-buru
disodorkan kepada Soeharto membuat
perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun
lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali
ekonomi Indonesia pergi ke Inter
Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang
anggota-anggota intinya adalah Amerika
Serikat, Kanada, Eropa, Australia dan, yang
terpenting, Dana Moneter Internasional dan
Bank Dunia.” Sekali lagi, semuanya itu tadi
kalimat-kalimatnya John Pilger yang tidak saya
kenal.
Kalau kita percaya John Pilger, Brad Sampson,
dan Jeffry Winters, sejak 1967 Indonesia sudah
mulai dihabisi (plundered) dengan tuntunan
oleh para elite bangsa Indonesia sendiri yang
ketika itu berkuasa.
Sejak itu, Indonesia dikepung oleh kekuatan
Barat yang terorganisasi dengan sangat rapi.
Instrumen utamanya adalah pemberian utang
terus-menerus sehingga utang luar negeri
semakin lama semakin besar. Dengan
sendirinya, beban pembayaran cicilan utang
pokok dan bunganya semakin lama semakin
berat. Kita menjadi semakin tergantung pada
utang luar negeri. Ketergantungan inilah yang
dijadikan leverage atau kekuatan untuk
mendikte semua kebijakan pemerintah
Indonesia. Tidak saja dalam bentuk ekonomi
dan keuangan, tetapi jauh lebih luas dari itu.
Utang luar negeri kepada Indonesia diberikan
secara sistematis, berkesinambungan, dan
terorganisasi secara sangat rapi dengan sikap
yang keras serta persyaratan-persyaratan
yang berat. Sebagai negara pemberi utang,
mereka tidak sendiri-sendiri, tetapi
menyatukan diri dalam organisasi yang
disebut CGI.
Negara-negara yang sama sebagai pemberi
penundaan pembayaran cicilan utang pokok
dan bunganya yang jatuh tempo menyatukan
diri dalam organisasi yang bernama Paris
Club. Pemerintah Indonesia ditekan oleh
semua kreditor yang memberikan pinjaman
kepada swasta Indonesia supaya pemerintah
menekan para kreditor swasta itu membayar
tepat waktu dalam satu klub lagi yang
bernama London Club. Secara kolektif, tanpa
dapat dikenali negara per negara, utang
diberikan oleh lembaga multilateral yang
bernama Bank Dunia, Bank Pembangunan
Asia. Pengatur dan pemimpin kesemuanya itu
adalah IMF. Jadi, kesemuanya itu tidak ada
bedanya dengan kartel internasional yang
sudah berhasil membuat Indonesia sebagai
pengutang yang terseok-seok.
Sejak itu, utang diberikan terus sampai hari
ini. Dalam krisis di tahun 1997, Indonesia
sebagai anggota IMF menggunakan haknya
untuk memperoleh bantuan. Ternyata, ada
aturan ketat untuk bantuan itu. Bantuan uang
tidak ada, hanya dapat dipakai dengan
persyaratan yang dibuat demikian rupa,
sehingga praktis tidak akan pernah terpakai.
Dengan dipegangnya pinjaman dari IMF
sebagai show case, IMF mendikte kebijakan-
kebijakan pemerintah Indonesia, yang dengan
segala senang hati dipenuhi oleh para menteri
ekonomi Indonesia, karena mereka orang-
orang pilihan yang dijadikan kroni dan
kompradornya.
Maka, dalam ikatan EFF itulah, pemerintah
dipaksa menerbitan surat utang dalam jumlah
Rp 430 triliun untuk mem-bail out para pemilik
bank yang menggelapkan uang masyarakat
yang dipercayakan pada bank-bank mereka.
Mereka tidak dihukum, sebaliknya justru
dibuatkan perjanjian perdata bernama MSAA
yang harus dapat meniadakan pelanggaran
pidana menurut undang-undang perbankan.
Dalam perjanjian perdata itu, asalkan
penggelap uang rakyat yang diganti oleh
pemerintah itu dapat mengembalikan dalam
bentuk aset yang nilainya sekitar 15 persen,
dianggap masalahnya sudah selesai, diberikan
release and discharge.
Lima tahun lamanya, yaitu untuk tahun 1999
sampai dengan tahun 2003, pembayaran
utang luar negeri yang sudah jatuh tempo
ditunda. Namun, mulai tahun 2004, utang
yang jatuh tempo beserta bunganya harus
dibayar sepenuhnya. Pertimbangannya tidak
karena keuangan negara sudah lebih kuat,
tetapi karena sudah tidak lagi menjalankan
program IMF dalam bentuk yang paling keras
dan ketat, yaitu EFF atau LoI.
Setelah keuangan negara dibuat bangkrut,
Indonesia diberi pinjaman yang tidak boleh
dipakai sebelum cadangan devisanya sendiri
habis total. Pinjaman diberikan setiap
pemerintah menyelesaikan program yang
didiktekan oleh IMF dalam bentuk LoI demi
LoI. Kalau setiap pelaksanaan LoI dinilai baik,
pinjaman sebesar rata-rata USD 400 juta
diberikan. Pinjaman ini menumpuk sampai
jumlah USD 9 miliar, tiga kali lipat melampaui
kuota Indonesia sebesar USD 3 miliar. Karena
saldo pinjaman dari IMF melampaui kuota,
Indonesia dikenai program pemandoran yang
dinamakan Post Program Monitoring.
Mengapa Indonesia tidak mengembalikan saja
yang USD 6 miliar supaya saldo menjadi USD 3
miliar sesuai kuota agar terlepas dari post
program monitoring. Berkali-kali saya
mengusulkan dalam sidang kabinet agar
seluruh saldo utang sebesar USD 9 miliar
dikembalikan. Alasannya, kita harus
membayar, sedangkan uang ini tidak boleh
dipakai sebelum cadangan devisa milik sendiri
habis total. Cadangan devisa kita ketika itu
sudah mencapai USD 25 miliar, sedangkan
selama Orde Baru hanya sekitar USD 14 miliar.
Yang USD 9 miliar itu harus dicicil sesuai
jadwal yang ditentukan oleh IMF. Skemanya
diatur sedemikian rupa sehingga pada akhir
2007 saldonya tinggal USD 3 miliar. Ketika
itulah, baru program pemandoran dilepas.
Alasannya kalau yang USD 9 miliar dibayarkan
sekarang, cadangan devisa kita akan merosot
dari USD 34 miliar menjadi USD 25 miliar. Saya
mengatakan, kalau yang USD 9 miliar
dibayarkan, cadangan devisa kita meningkat
dari USD 14 miliar menjadi USD 25 miliar. Toh
pendapat saya dianggap angin lalu sampai
hari ini.
Mari sekarang kita bayangkan, seandainya
cadangan devisa kita habis pada akhir 2007.
Ketika itu, utang dari IMF tinggal USD 3 miliar
sesuai kuota. Barulah ketika itu utang dari IMF
boleh dipakai. Olehnya secara implisit
dianggap bahwa ini lebih kredibel, yaitu
mengumumkan bahwa cadangan devisa
tinggal USD 3 miliar yang berasal dari utang
IMF. Kalau seluruh utang yang USD 9 miliar
dibayar kembali karena sudah mempunyai
cadangan devisa sendiri sebesar USD 25 miliar
dikatakan bahwa Indonesia tidak akan kredibel
karena cadangan devisa merosot dari USD 34
miliar menjadi USD 25 miliar.
Jelas sekali sangat tidak logisnya kita dipaksa
untuk memegang utang dari IMF dengan
pengenaan bunga yang tinggi, sekitar 4 persen
setahun, tanpa boleh dipakai. Jelas sekali
bahwa Indonesia dipaksa berutang yang
jumlahnya melampaui kuota yang sama sekali
tidak kita butuhkan. Tujuannya hanya supaya
Indonesia dikenai pemandoran yang bernama
post program monitoring. Jelas ini hanya
mungkin dengan dukungan dan kerja sama
dari kroni-kroninya Kartel IMF.
Mengapa kami dan teman-teman yang
sepikiran dan sepaham dikalahkan terus-
menerus? Mengapa pikiran yang tidak masuk
akal seabsurd itu dipertahankan? Sebab, para
menteri ekonomi yang ada dalam kabinet dan
otoritas moneter sedikit pun tidak
menanggapinya. Memberikan komentar pun
tidak mau. Mengapa? Sebab, perang modern
yang menggunakan seluruh sektor ekonomi
sebagai senjata, terutama sektor moneternya,
membutuhkan kroni atau komprador bangsa
Indonesia sendiri yang mutlak mengabdi pada
kepentingan agresor.
Kalau kita percaya pada Brad Sampson, Jeffrey
Winters, dan John Pilger, dan kita perhatikan
serta ikuti terus sikap satu kelompok tertentu,
kiranya jelas bahwa kelompok pakar ekonomi
yang dijuluki “the Berkeley Mafia” adalah
kelompok kroni dalam bidang ekonomi dan
keuangan. Lahirnya kelompok tersebut telah
dikemukakan dalam studi Brad Sampson yang
tadi saya kutip. Pengamatan saya sendiri juga
membenarkan bahwa kelompok itu
menempatkan dan memfungsikan diri sebagai
kroni kekuatan asing.
Yang paling akhir menjadi kontroversi adalah
sikap beberapa menteri dalam Kabinet
Indonesia Bersatu terhadap uluran tangan
spontan dari beberapa kepala pemerintahan
beberapa negara Eropa penting berkenaan
dengan bencana tsunami. Baru kemarin media
massa penuh dengan komentar minor
mengapa tim ekonomi pemerintah utang lagi
dalam jumlah besar sehingga jumlah stok
utang luar negeri keseluruhannya bertambah?
Ini sangat bertentangan dengan yang
dikatakan selama kampanye presiden dan juga
dikatakan oleh para menteri ekonomi sendiri
bahwa stok utang akan dikurangi. Berdasar
pengalaman, saya yakin bahwa kartel IMF
yang memaksa kita berutang dalam jumlah
besar supaya dapat membayar utang yang
jatuh tempo. Buat mereka, yang terpenting
memperoleh pendapatan bunga dan
mengendalikan Indonesia dengan
menggunakan utang luar negeri yang sulit
dibayar kembali.
Mafia Berkeley
Mafia Berkeley adalah Organisasi Tanpa
Bentuk (OTB). Mereka mempunyai atau
menciptakan keturunan-keturunan. Para
pendirinya memang sudah sepuh, yaitu Prof
Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim,
Soebroto, Moh. Sadli, J.B. Soemarlin, Adrianus
Mooy, dan masih sangat banyak lagi. Yang
sekarang dominan adalah Sri Mulyani, Moh.
Ikhsan, Chatib Basri, dan masih banyak lagi.
Mereka tersebar pada seluruh departemen
dan menduduki jabatan eselon I dan II,
sampai kepala biro.
Ciri kelompok itu ialah masuk ke dalam
kabinet tanpa peduli siapa presidennya.
Mereka mendesakkan diri dengan bantuan
kekuatan agresor. Kalau kita ingat, sejak akhir
era Orde Lama, Emil Salim sudah anggota
penting dari KOTOE dan Widjojo Nitisastro
sudah sekretaris Perdana Menteri Djuanda.
Widjojo akhirnya menjabat sebagai ketua
Bappenas dan bermarkas di sana. Setelah itu,
presiden berganti beberapa kali. Yang
“kecolongan” tidak masuk ke dalam kabinet
adalah ketika Gus Dur menjadi presiden.
Namun, begitu mereka mengetahui, mereka
tidak terima. Mereka mendesak supaya Gus
Dur membentuk Dewan Ekonomi Nasional.
Seperti kita ketahui, ketuanya adalah Emil
Salim dan sekretarisnya Sri Mulyani.
Mereka berhasil mempengaruhi atau
“memaksa” Gus Dur bahwa mereka
diperbolehkan hadir dalam setiap rapat
koordinasi bidang ekuin. Tidak puas lagi,
mereka berhasil membentuk Tim Asistensi
pada Menko Ekuin yang terdiri atas dua orang
saja, yaitu Widjojo Nitisastro dan Sri Mulyani.
Dipaksakan bahwa mereka harus ikut
mendampingi Menko Ekuin dan menteri
keuangan dalam perundingan Paris Club pada
12 April 2000, walaupun mereka sama sekali
di luar struktur dan sama sekali tidak
dibutuhkan. Mereka membentuk opini publik
bahwa ekonomi akan porak-poranda di bawah
kendali tim ekonomi yang ada. Padahal,
kinerja tim ekonomi di tahun 2000 tidak jelek
kalau kita pelajari statistiknya sekarang.
Yang mengejutkan adalah Presiden Megawati
yang mengangkat Boediono sebagai menteri
keuangan dan Dorodjatun sebagai Menko
Perekonomian. Aliran pikir dan sikap
Laksamana Sukardi sangat jelas sama dengan
Berkeley Mafia, walaupun dia bukan
anggotanya. Ada penjelasan tersendiri
tentang hal ini. Presiden SBY sudah
mengetahui semuanya. Toh tidak dapat
menolak dimasukkannya ke dalam kabinet
tokoh-tokoh Berkeley Mafia seperti Sri
Mulyani, Jusuf Anwar, dan Mari Pangestu,
seperti yang telah disinaylir oleh beberapa
media massa.
(Source: Mafia Indonesia)